Inflasi Indonesia di tahun 2024 tercatat pada angka yang sangat rendah, hanya 1,57% (year-to-date/ytd), menjadikannya yang terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Angka ini bisa jadi berita baik bagi perekonomian Indonesia. Namun, apakah memang demikian?
Untuk lebih memahami situasi ini, mari kita lihat lebih dekat apa yang mendasari angka inflasi tersebut dan bagaimana hal ini berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, rendahnya inflasi Indonesia pada tahun 2024 sebagian besar disebabkan oleh kemampuan pemerintah dalam mengendalikan harga pangan.
Komponen pangan memang menjadi faktor dominan dalam penghitungan inflasi tahun ini. Meski ada penurunan harga pangan pokok yang signifikan, bahkan sempat terjadi deflasi selama beberapa bulan, situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga pangan telah berhasil.
Febrio juga menekankan bahwa inflasi yang rendah bukanlah masalah. Justru ia menilai ini sebagai hal yang positif karena inflasi pangan yang terkontrol sangat membantu menjaga daya beli masyarakat.
Selain inflasi pangan, ada satu lagi komponen yang perlu dicermati, yaitu inflasi inti. Inflasi inti yang mencerminkan harga barang dan jasa tanpa dipengaruhi oleh fluktuasi harga pangan dan energi, mengalami kenaikan sebesar 2,26% (year-on-year/yoy) pada Desember 2024.
Meskipun lebih tinggi dari inflasi pangan, namun hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih cukup baik. Dengan kata lain, meskipun harga barang-barang yang lebih stabil (non-pangan) meningkat, tingkat daya beli masyarakat Indonesia masih cukup solid, yang bisa menjadi indikator pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengonfirmasi bahwa penurunan harga pangan pokok menjadi faktor utama penyebab inflasi yang rendah di 2024.
Setelah mengalami lonjakan harga pada tahun 2022 dan 2023, harga pangan pokok seperti beras, minyak, dan daging menunjukkan penurunan yang signifikan sepanjang 2024.
Hal ini tentu saja sangat menguntungkan masyarakat, karena mereka bisa menikmati harga barang kebutuhan pokok yang lebih stabil dan terjangkau.
Namun, ada sisi lain dari cerita inflasi rendah ini yang patut dicermati. Kalangan ekonom menilai bahwa rendahnya inflasi bisa jadi mencerminkan penurunan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah.
Karena semakin terlihat penurunan konsumsi rumah tangga yang menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di berbagai data ekonomi.
Penurunan daya beli ini juga tercermin pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), yang merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi.
Pada Juni 2024, IKK tercatat sebesar 123,3, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan bulan Mei 2024 yang berada di angka 125,2. Penurunan IKK ini mengindikasikan bahwa masyarakat mulai merasa khawatir terhadap kondisi ekonomi yang bisa mempengaruhi pola konsumsi mereka.
Meskipun inflasi rendah di tahun 2024 bisa dianggap sebagai pencapaian dalam pengelolaan ekonomi, hal ini juga mencerminkan beberapa tantangan yang harus dihadapi pemerintah dan masyarakat.
Di satu sisi, keberhasilan dalam mengendalikan harga pangan memberikan keuntungan bagi daya beli masyarakat. Namun, di sisi lain, penurunan konsumsi rumah tangga dan penurunan keyakinan konsumen menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih menghadapi ketidakpastian.
Dengan target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipatok pada angka 5,2% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi sembari memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga akan menjadi tantangan besar.
Inflasi rendah, meskipun positif, tetap memerlukan perhatian agar tidak mengindikasikan penurunan kualitas hidup masyarakat yang lebih luas.
Dalam skenario optimis, BI rate dapat turun sekitar 25-50 bps di 2025, terutama jika inflasi tetap terkendali dan pertumbuhan ekonomi membutuhkan stimulus tambahan. Penurunan ini akan menciptakan kondisi moneter yang lebih longgar, mendukung pembiayaan dan konsumsi domestik.
Reksa dana pendapatan tetap, yang sebagian besar portofolionya terdiri dari obligasi pemerintah dan korporasi, sangat sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Penurunan BI rate di 2025 dapat membawa peluang positif, terutama melalui dua mekanisme utama:
Kenaikan Harga Obligasi (Capital Gain): Penurunan suku bunga biasanya mendorong kenaikan harga obligasi yang diterbitkan sebelumnya, karena obligasi tersebut menawarkan kupon yang lebih tinggi dibandingkan obligasi baru. Hal ini akan meningkatkan nilai aset bersih (NAV) reksa dana pendapatan tetap.
Penurunan Yield Obligasi: Penurunan BI rate juga menekan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah, yang membuat instrumen ini lebih menarik bagi investor yang mencari stabilitas dibandingkan aset berisiko tinggi.
Memilih Durasi Obligasi yang Lebih Panjang: Reksa dana yang berinvestasi pada obligasi berdurasi panjang lebih cenderung mendapat manfaat dari penurunan suku bunga karena harga obligasi berdurasi panjang lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga.
Diversifikasi Portofolio: Memilih reksa dana yang menggabungkan obligasi pemerintah dan korporasi berkualitas tinggi dapat memberikan keseimbangan antara potensi capital gain dan stabilitas pendapatan kupon.
Reksa Dana Pendapatan Tetap atau Reksa Dana Obligasi yang catatkan total return di atas 3 persen dalam 1 tahun terakhir per 07 Januari 2025.
Sucorinvest Sharia Sukuk Fund
BNI-AM Teakwood
Syailendra Pendapatan Tetap Premium
Manulife Pendapatan Bulanan II
Ashmore Dana Obligasi Unggulan Nusantara
BNI-AM Pendapatan Tetap Syariah Ardhani