Selama sepekan terakhir, pasar Amerika Serikat (AS) dipengaruhi oleh penurunan kinerja sektor manufaktur di AS serta meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Pasar saham bergerak moderat, sementara pasar obligasi di AS mengalami tekanan.
Indeks saham utama di Wall Street mencatat kenaikan tipis, rata-rata sekitar 0,2%. Namun, pasar obligasi terkoreksi cukup tajam, dengan imbal hasil acuan obligasi tenor 10 tahun naik signifikan sebesar 5,78% dalam sepekan.
Dari sisi data ekonomi, Indeks ISM Manufacturing di AS stagnan dalam zona kontraksi, bertahan di level 47,2, tidak sesuai ekspektasi yang memperkirakan kenaikan menjadi 47,5. Hal ini menunjukkan tekanan yang cukup serius pada sektor manufaktur, menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan bisnis di sektor tersebut. Akibatnya, spekulasi investor mengenai pemangkasan suku bunga yang lebih agresif semakin meningkat.
Ketegangan geopolitik yang menciptakan ketidakpastian di pasar global pun mendorong investor untuk mengalihkan portofolio mereka ke aset safe haven seperti emas dan dolar AS. Indeks dolar AS tercatat menguat sebesar 2,13% selama sepekan, kembali melampaui level 102,5 setelah sebelumnya sempat menyentuh level 100.
Minggu ini perhatian investor akan tertuju pada sejumlah data ekonomi penting: termasuk neraca perdagangan, inflasi konsumen, inflasi produsen, serta risalah pertemuan FOMC. Data ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih lanjut terkait arah kebijakan ekonomi AS.
Pasar saham Eropa cenderung mengalami koreksi selama sepekan terakhir, dipimpin oleh penurunan indeks saham di Prancis yang turun sebesar 3,21%. Ketegangan geopolitik yang memanas turut mendorong kenaikan harga komoditas energi secara signifikan, sehingga memicu kekhawatiran investor akan potensi kenaikan harga BBM dan listrik, terutama di tengah ancaman gangguan pasokan energi.
Dari sisi data ekonomi, inflasi di Eropa menunjukkan pergerakan negatif secara bulanan, yang berarti terjadi deflasi. Kondisi ini menambah kekhawatiran investor terkait langkah Bank Sentral Eropa (ECB). Kini mereka mempertanyakan apakah ECB akan melanjutkan pemangkasan suku bunga dengan lebih agresif atau tetap bersikap konservatif.
Ke depannya perhatian investor akan tertuju pada perkembangan tensi geopolitik, pergerakan harga komoditas energi, serta data penjualan ritel di Eropa yang akan memberikan indikasi lebih lanjut mengenai prospek ekonomi kawasan tersebut.
Euforia di pasar saham Hong Kong masih berlanjut, dipicu oleh pelonggaran kebijakan yang serius dari People’s Bank of China (PBOC) sejak akhir bulan lalu, meskipun pasar saham Tiongkok tutup untuk libur golden week.
Indeks Hang Seng, yang didominasi oleh saham-saham teknologi, melonjak lebih dari 10% selama sepekan. Keputusan PBOC untuk memangkas suku bunga secara agresif menciptakan lingkungan yang sangat mendukung bagi pasar saham. Biaya pinjaman yang lebih rendah mendorong peningkatan belanja konsumen dan investasi bisnis, yang secara positif mempengaruhi harga saham, terutama di sektor teknologi yang terus berkembang.
Data ekonomi yang dirilis seperti manufaktur, penjualan eceran, dan produksi industri, menunjukkan tanda-tanda pemulihan, semakin memperkuat kepercayaan investor di pasar Hong Kong.
Berbagai sektor turut berkontribusi terhadap lonjakan ini, dengan saham teknologi dan properti memimpin. Perusahaan besar seperti Tencent dan Meituan mencatat kenaikan yang signifikan, mencerminkan optimisme pasar yang lebih luas.
Sementara itu, pasar saham Jepang mengalami koreksi, sebagian disebabkan oleh penguatan yen yang berpotensi mengganggu margin keuntungan perusahaan-perusahaan eksportir, yang bergantung pada nilai tukar untuk mempertahankan daya saing produk mereka di pasar global.
Pasar saham, obligasi, dan rupiah Indonesia mencatat penurunan signifikan. IHSG turun 2,61%. Sementara itu LQ45 terkoreksi lebih dalam sebesar 3,15%. Pelemahan terutama didorong oleh saham di sektor teknologi, konsumer siklikal, infrastruktur, dan keuangan.
Aksi jual asing mencapai lebih dari Rp5 triliun, dengan saham-saham seperti BBRI, BBCA, dan BMRI paling banyak dilepas oleh investor asing, yang semakin menekan optimisme pasar. Memanasnya situasi geopolitik di Timur Tengah membuat investor beralih ke aset safe haven seperti USD.
Permintaan terhadap USD meningkat, didorong oleh kenaikan indeks dolar sebesar 1,51% yang memberikan tekanan pada rupiah. Depresiasi rupiah mencapai 2,38% yang menjadi yang terbesar dalam 24 minggu terakhir. Hal ini turut menjadi katalis negatif bagi aksi jual di pasar obligasi, dengan imbal hasil obligasi meningkat 17 basis poin sepanjang pekan, meskipun tren pemangkasan suku bunga masih tetap di jalurnya.
Di bawah ini merupakan reksa dana obligasi yang mengalami penguatan lebih dari 3% dalam 3 bulan terakhir.
Ashmore Dana Obligasi Nusantara
Manulife Obligasi Negara Indonesia II
Schroder Income Fund
Di bawah ini merupakan reksa dana saham yang mengalami penguatan lebih dari 6% dalam 3 bulan terakhir.
BNI-AM Indeks IDX Growth 30
Schroder 90 Plus Equity Fund
BNP Paribas Pesona