Beberapa data ekonomi di AS yang dirilis tidak sesuai harapan telah membawa tekanan terhadap pasar saham, meskipun hasil FOMC sesuai perkiraan pasar. The Fed memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga dan memberikan sinyal pemangkasan suku bunga sebanyak 2 kali pada tahun 2024 jika data tingkat inflasi mendukung.
Indeks NASDAQ, yang didominasi oleh saham teknologi, menjadi kontributor utama pelemahan. Data JOLTS Job Openings AS naik menjadi 8.184.000 (dari 8.140.000), sementara ekspektasi turun menjadi 8.000.000.
Kenaikan tersebut menunjukkan bahwa perusahaan membutuhkan lebih banyak karyawan, yang bisa diartikan bisnis sedang berkembang atau mempersiapkan ekspansi. Hal ini mencerminkan kepercayaan mereka terhadap kondisi ekonomi meskipun suku bunga tinggi. Selain itu, data Nonfarm Productivity meningkat signifikan dan jauh di atas ekspektasi, membuat spekulasi bahwa daya beli dan inflasi masih akan tetap tinggi.
Pasar saham Eropa mayoritas melemah akibat sentimen spekulasi bahwa inflasi di AS akan tetap tinggi dan pertumbuhan GDP di Eropa yang lebih kuat daripada ekspektasi. Indeks DAX di Jerman dan CAC40 di Prancis menjadi yang paling terdampak.
Investor khawatir Bank Central Eropa atau European Central Bank (ECB) akan mengambil sikap yang lebih melunak terhadap kebijakan moneter masa depan. Kekhawatiran ini muncul karena data terbaru menunjukkan pertumbuhan GDP yang tetap tinggi bahkan di atas perkiraan.
Tingginya pertumbuhan GDP menunjukkan ekonomi Eropa mungkin masih cukup kuat, yang bisa menyebabkan ECB mempertahankan atau bahkan meningkatkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi.
Indeks Nikkei di Jepang turun secara signifikan lebih dari 4%, didorong oleh penguatan nilai tukar JPY akibat intervensi besar-besaran dari Bank of Japan (BOJ) dan penurunan permintaan USD secara global. Kekuatan yen ini dikhawatirkan dapat membebani aktivitas industri di Jepang karena membuat produk Jepang menjadi lebih mahal di pasar internasional.
Sementara itu, di Hong Kong, Indeks Hang Seng, serta CSI 300 di Tiongkok, juga mengalami penurunan. Investor khawatir tentang kesulitan ekonomi yang dihadapi Tiongkok. Data awal minggu ini menunjukkan aktivitas manufaktur di Tiongkok mengalami penyusutan tajam. Selain itu, Tiongkok melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang lebih lemah daripada perkiraan pada awal bulan ini.
Manufacturing PMI Tiongkok turun dari 49,5 menjadi 49,4, menunjukkan kontraksi yang lebih dalam, sementara Caixin China PMI Manufaktur turun lebih signifikan dari 51,8 menjadi 49,8, bahkan meninggalkan teritori ekspansi. Penurunan dalam aktivitas manufaktur ini mencerminkan tantangan yang lebih besar bagi ekonomi Tiongkok dan menciptakan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap ekonomi global.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,27%, sementara LQ45 turun 0,11% selama sepekan. Penurunan LQ45 sebagian besar dipengaruhi oleh sentimen musim laporan keuangan yang meningkatkan kekhawatiran investor secara psikologis dan berkontribusi pada volatilitas pasar.
Selain itu, data ekonomi awal bulan menunjukkan perlambatan dari Asia, yang membebani pasar saham, terutama saham-saham yang berkaitan dengan perdagangan ekspor. Aktivitas sektor manufaktur yang turun ke level kontraksi dalam indeks PMI dan terjadinya deflasi 2 bulan berturut-turut menjadi indikasi penurunan daya beli, yang memengaruhi sentimen ekonomi secara negatif.
Di sisi lain, imbal hasil obligasi acuan tenor 10 tahun turun 14,1 basis poin dalam seminggu, yang mana merupakan penurunan mingguan terbesar dalam 10 minggu terakhir. Penurunan ini menunjukkan penguatan pasar obligasi dan melanjutkan tren positif.
Selain sentimen positif dari hasil pertemuan FOMC, yang memberi sinyal kemungkinan pemangkasan suku bunga The Fed pada September 2024, spekulasi investor tentang pemangkasan suku bunga BI rate yang lebih cepat juga meningkat.
Data inflasi Indonesia cenderung melambat, melampaui perkiraan. Tingkat inflasi tahunan menurun ke level 2,13% (dari 2,51%), sementara perkiraan berada di level 2,37%. Penurunan ini disebabkan oleh deflasi bulanan pada Juni dan Juli 2024, masing-masing sebesar 0,08% dan meningkat menjadi 0,18%. Kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi, ditambah dengan perlambatan daya beli, memaksa pemangku kebijakan moneter untuk mempertimbangkan intervensi lebih lanjut guna menstabilkan ekonomi.