Market Update 24 Maret 2025

writter Lanjar Nafi

Pasar Amerika: Wall Street Berfluktuasi, Dampak Tarif Trump dan Kebijakan The Fed

Pasar saham Wall Street berfluktuasi sepanjang pekan, dipengaruhi oleh kebijakan tarif Presiden Donald Trump dan keputusan suku bunga Federal Reserve.

Pada awal pekan, indeks menguat karena investor memburu saham murah setelah koreksi tajam sebelumnya, meskipun data ekonomi menunjukkan tanda-tanda pelemahan: seperti penurunan aktivitas pabrik di New York dan sentimen buruk di sektor perumahan.

Meskipun demikian, optimisme itu tak bertahan lama karena pada Selasa investor kembali berhati-hati menjelang keputusan The Fed, dengan pasar masih memperdebatkan arah kebijakan moneter ke depan.

Rabu menjadi titik balik sementara, dengan Wall Street menguat setelah The Fed mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25-4,50% dan tetap pada proyeksi dua kali pemangkasan suku bunga tahun ini; meski ada ketidakpastian di antara para pejabat bank sentral mengenai dampak kebijakan tarif.

Pada Kamis, pasar kembali bergerak volatil, menghadapi data ekonomi yang mengindikasikan pelemahan konsumsi dan perlambatan pertumbuhan, sementara pelaku pasar mulai memperkirakan pemangkasan suku bunga lebih agresif tahun ini.

Pekan ditutup dengan sedikit kenaikan pada Jumat setelah pernyataan Trump yang lebih fleksibel soal tarif memunculkan harapan bahwa dampaknya terhadap ekonomi bisa lebih ringan dari perkiraan. Meski demikian, ketidakpastian masih membayangi, dengan The Fed dan investor sama-sama menunggu kejelasan lebih lanjut terkait kebijakan perdagangan dan arah pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS).

Pasar Eropa: Reformasi Fiskal Jerman & Ketegangan Geopolitik

Pasar saham Eropa mengalami pergerakan yang cukup fluktuatif sepanjang pekan, dipengaruhi oleh faktor geopolitik, reformasi fiskal Jerman, serta keputusan bank sentral utama. Awal pekan dimulai dengan optimisme setelah saham energi dan kesehatan menguat, didukung oleh kenaikan harga minyak karena ketegangan di Timur Tengah.

Pada Selasa, reli berlanjut ketika parlemen Jerman menyetujui pencabutan “rem utang” dan paket belanja 500 miliar euro untuk infrastruktur dan pertahanan, meski pasar tetap menanti persetujuan dari majelis tinggi pada Jumat.

Pada Rabu, fokus investor bergeser ke keputusan suku bunga The Fed, dengan ekspektasi suku bunga tetap tidak berubah di tengah kekhawatiran resesi AS dan perang dagang. Namun, sentimen positif mulai terkikis pada Kamis, ketika aksi ambil untung menyeret pasar turun, diperburuk oleh pernyataan Christine Lagarde bahwa tarif AS dapat menekan pertumbuhan zona euro hingga 0,5 poin persentase jika ada tindakan balasan. Di sisi geopolitik, serangan Ukraina terhadap lapangan udara Rusia meningkatkan ketidakpastian global.

Pada Jumat, pasar ditutup dengan pelemahan lebih lanjut akibat sentimen negatif dari ketegangan perdagangan dan konflik geopolitik. Sementara itu, sektor perjalanan terpukul oleh kebakaran di Bandara Heathrow. Meski demikian, keputusan parlemen Jerman untuk mengesahkan reformasi fiskal tetap menjadi titik terang, memberikan harapan bagi pemulihan ekonomi Eropa.

Pasar Asia: Stimulus Ekonomi, Kebijakan The Fed, dan Tekanan Global

Pasar saham Tiongkok mengalami pekan yang bergejolak, dimulai dengan pergerakan mixed pada Senin. Data produksi industri yang tumbuh 5,9% dan kenaikan penjualan ritel sebesar 4% menjadi katalis positif, tetapi optimisme tersebut dibayangi oleh kenaikan tingkat pengangguran ke 5,4% di Februari.

Pada Selasa, sentimen membaik setelah pemerintah Tiongkok meluncurkan “special action plan” untuk mendorong belanja domestik, yang mencakup peningkatan pendapatan masyarakat, stabilisasi pasar saham, serta insentif di sektor perumahan, otomotif, dan layanan seperti pariwisata serta perawatan lansia.

Namun, optimisme tersebut meredup pada Rabu, ketika investor menunggu keputusan suku bunga The Fed dan pasar diguncang kabar bahwa pemerintahan Trump mendorong pelarangan ekspor cip AS ke Tiongkok.

Tekanan semakin kuat pada Kamis setelah Tiongkok dan AS sama-sama mempertahankan suku bunga acuan mereka. Tiongkok menahan Loan Prime Rate (LPR) satu tahun di 3,1% dan lima tahun di 3,6%, sementara The Fed tetap di kisaran 4,25%-4,5% tetapi memberi sinyal akan memangkas suku bunga dua kali pada tahun ini.

Puncaknya terjadi pada Jumat, ketika pasar Tiongkok mengalami penurunan tajam di tengah meningkatnya kekhawatiran akan koreksi besar seperti yang pernah terjadi di 2015. Strategis dari BofA Securities memperingatkan potensi tekanan jangka panjang akibat pemulihan pasar tenaga kerja yang lamban, risiko deflasi, dan rendahnya permintaan kredit.

Sementara itu, Fitch Ratings menyoroti tantangan yang terus membayangi ekonomi Tiongkok, termasuk ketegangan perdagangan yang meningkat, krisis sektor properti, serta beban utang yang besar dari local government financing vehicles (LGFV).

Pasar Indonesia: Lonjakan Utang, Trading Halt IHSG, dan Risiko Fiskal

Indonesia menghadapi tekanan besar sepanjang pekan ini, dipengaruhi oleh kombinasi sentimen negatif dari dalam dan luar negeri. Awal pekan dibuka dengan kenaikan utang luar negeri yang menjadi katalis negatif, sementara pelemahan saham teknologi seperti DCII dan BREN semakin membebani pasar.

Data neraca perdagangan yang cukup solid gagal menjadi pendorong, mengingat kekhawatiran pasar lebih terfokus pada meningkatnya beban utang pemerintah.

Kondisi semakin memburuk pada Selasa, ketika aksi jual besar-besaran akibat ketidakpastian politik dan fiskal membuat IHSG terkena trading halt setelah anjlok 5% di sesi pertama. Meskipun tekanan jual sedikit mereda menjelang penutupan, kekhawatiran investor terhadap potensi defisit fiskal yang lebih besar serta penurunan pendapatan negara tetap membayangi pasar.

Pada Rabu, Bank Indonesia mencoba memberikan stabilitas dengan mempertahankan suku bunga di 5,75% dan menegaskan pertumbuhan kredit perbankan yang masih kuat. Hal ini sedikit mengurangi tekanan di pasar saham.

Optimisme mulai muncul pada Kamis, dengan indeks berhasil rebound meskipun risiko investasi Indonesia terus meningkat, sebagaimana tecermin dalam kenaikan harga Credit Default Swap (CDS) ke level tertinggi sejak November 2023.

Meski demikian, sentimen kembali memburuk pada Jumat setelah Moody’s menurunkan skor kekuatan ekonomi Indonesia, menambah tekanan di pasar saham dan obligasi. Kenaikan imbal hasil obligasi serta depresiasi rupiah semakin menandai pekan yang penuh volatilitas.


SMBC Indonesia tidak bertanggung jawab atas pernyataan apa pun sehubungan dengan keakuratan atau kelengkapan informasi yang terkandung pada artikel ini atau atas kehilangan atau kerusakan yang timbul dari penggunaan isi artikel ini.
Informasi yang terkandung dalam artikel ini adalah informasi publik, tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Pengguna tidak boleh menyalin atau menggunakan isi artikel ini untuk tujuan apa pun atau mengungkapkan isinya kepada orang lain tanpa persetujuan sebelumnya dari SMBC Indonesia. Isi artikel ini dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Pengguna disarankan untuk menilai kemampuan sendiri dalam menanggung risiko keuangan dan lainnya terkait investasi atau produk apa pun, dan untuk membuat penilaian independen atau mencari nasihat independen sehubungan dengan masalah apa pun yang tercantum pada artikel ini.