Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengungkapkan inflasi Indonesia pada Januari 2025 tercatat sangat rendah, bahkan terendah dalam 25 tahun terakhir. Inflasi tahunan (year-on-year atau yoy) hanya 0,76%, jauh lebih rendah dari yang diperkirakan, yang semula mengantisipasi inflasi sebesar 1,57%.
Pencapaian ini cukup mengejutkan, mengingat Indonesia belum pernah mencatat inflasi serendah ini sejak Januari 2000, ketika angka inflasi tercatat hanya 0,28%. Bahkan, selama pandemi pun inflasi Indonesia tidak pernah turun begitu rendah.
Jadi hal yang cukup menarik bahwa Indonesia justru mengalami deflasi pada bulan Januari 2025, yakni penurunan harga sebesar -0,76% month-to-month (mtm). Banyak faktor yang memengaruhi kondisi ini, salah satunya adalah penurunan harga barang yang diatur pemerintah, seperti tarif listrik yang turun tajam hingga 32,03%.
Pemerintah memberikan diskon 50% bagi pelanggan listrik dengan daya hingga 2.200 VA, yang memberi dampak besar pada penghitungan inflasi. Selain itu, harga barang seperti cabai merah, cabai rawit, dan daging ayam ras mengalami kenaikan, tapi hal itu tidak cukup besar untuk mengimbangi penurunan tarif listrik dan komoditas lainnya.
Pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, minyak goreng, sigaret kretek mesin, cabai rawit, dan kopi bubuk tercatat sebagai penyumbang utama inflasi. Sementara itu, harga beras di tingkat petani, grosir, dan eceran juga mengalami kenaikan pada awal tahun ini, meskipun inflasi beras di tingkat grosir dan eceran lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Selain itu, emas perhiasan juga memberikan kontribusi inflasi di luar kelompok makanan. Namun, ada juga beberapa komoditas yang mengalami deflasi seperti tomat, daun bawang, pepaya, susu bubuk, dan tarif listrik yang turun tajam.
Dengan inflasi yang sangat rendah ini, Bank Indonesia (BI) mungkin akan mempertimbangkan untuk kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Penurunan inflasi dapat menjadi sinyal bahwa permintaan domestik masih lesu, yang mengindikasikan adanya penurunan daya beli masyarakat.
BI kemungkinan akan mengintervensi situasi ini dengan menurunkan suku bunga untuk memberikan stimulus tambahan bagi sektor konsumsi dan investasi. Jika suku bunga dipangkas lagi, diharapkan dapat memperbaiki daya beli masyarakat yang melemah akibat inflasi rendah dan ketidakpastian ekonomi global.
Secara keseluruhan, kondisi inflasi Indonesia pada Januari 2025 menunjukkan gambaran ekonomi yang lebih stabil, meskipun ada beberapa tantangan. Penurunan tarif listrik memberikan dampak besar, tetapi ada juga komoditas seperti makanan yang mencatatkan inflasi.
Jika deflasi dan inflasi rendah ini berlanjut, BI mungkin akan menyesuaikan kebijakan suku bunganya untuk memastikan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dan daya beli masyarakat pulih. Dengan kebijakan suku bunga yang lebih rendah, diharapkan sektor konsumsi akan kembali bergerak, memberikan dorongan bagi perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian global.
Dengan inflasi yang tercatat rendah pada Januari 2025, serta adanya kemungkinan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga lebih lanjut, pasar obligasi, termasuk reksa dana pendapatan tetap, bisa menjadi pilihan menarik bagi investor yang mencari stabilitas di tengah ketidakpastian ekonomi.
Reksa dana pendapatan tetap berinvestasi pada instrumen obligasi, yang bisa mendapat keuntungan dari penurunan suku bunga. Ketika suku bunga turun, harga obligasi cenderung naik, memberikan peluang bagi reksa dana pendapatan tetap untuk meraih hasil yang lebih baik. Apalagi, dengan inflasi yang rendah dan daya beli masyarakat yang melambat, penurunan suku bunga dari BI bisa mendorong lebih banyak likuiditas masuk ke pasar, termasuk obligasi.
Jika BI memangkas suku bunga, obligasi yang diterbitkan dengan tingkat bunga tetap akan lebih menarik karena mereka menawarkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga acuan yang lebih rendah.
Inflasi yang terkendali membantu menjaga daya beli masyarakat, namun juga menandakan bahwa perekonomian masih membutuhkan stimulus. Reksa dana pendapatan tetap bisa jadi pilihan yang stabil untuk investor yang menghindari volatilitas pasar saham.
Reksa dana pendapatan tetap memberikan kesempatan untuk mendiversifikasi portofolio investasi, memberikan stabilitas dan penghasilan yang lebih konsisten dibandingkan instrumen lainnya, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi.
Di bawah ini merupakan reksa dana pendapatan tetap yang memiliki performance total return lebih dari 0,5% selama 1 bulan terakhir per 31 Januari 2025.
Ashmore Dana Obligasi Unggulan Nusantara
Syailendra Pendapatan Tetap Premium
BNI-AM Teakwood
Manulife Pendapatan Bulanan II
Syailendra Fixed Income Fund Kelas A
Sucorinvest Sharia Sukuk Fund