Di tengah gejolak nilai tukar rupiah yang semakin melemah, Bank Indonesia (BI) tidak tinggal diam. Pada hari Selasa, BI melakukan intervensi agresif, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri, sebagai bentuk langkah tegas untuk meredam tekanan terhadap mata uang Indonesia.
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan yang cukup signifikan sejak awal pekan, memicu kekhawatiran di pasar keuangan. Gejolak global dan sentimen negatif pasca libur panjang membuat pergerakan rupiah di pasar valuta asing menjadi sangat volatil. Di tengah situasi ini, BI langsung merespons dengan kebijakan intervensi yang cukup masif.
Fitra Jusdian, Direktur Pengelolaan Moneter dan Surat Berharga Bank Indonesia, menyatakan bahwa BI melakukan intervensi agresif di berbagai lini pasar.
“BI telah dan akan terus secara agresif melakukan intervensi di pasar spot, DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), pasar obligasi pemerintah, serta pasar NDF luar negeri,” ujarnya dalam pesan tertulis.
Langkah ini dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang menjadi fondasi penting bagi kestabilan ekonomi secara keseluruhan.
Mata uang adalah cerminan kepercayaan pasar terhadap perekonomian suatu negara. Ketika rupiah melemah terlalu tajam, hal itu bisa berdampak ke banyak sektor—mulai dari biaya impor, inflasi, hingga kepercayaan investor. Dengan turun langsung ke pasar, BI berupaya meredam spekulasi dan menenangkan pelaku pasar yang mulai cemas.
Fitra menambahkan bahwa intervensi ini juga bertujuan menjaga likuiditas yang memadai di pasar uang dan sektor perbankan domestik. Likuiditas yang cukup penting untuk memastikan kegiatan ekonomi tetap berjalan lancar, tanpa hambatan akibat kekeringan dana di sistem keuangan.
BI juga menyoroti pergerakan nilai tukar rupiah di pasar Non-Deliverable Forward (NDF), pasar valuta asing di luar negeri yang memperdagangkan kontrak tanpa penyerahan fisik mata uang. Menurut BI, pergerakan di pasar ini dinilai berlebihan dan tidak mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia.
“Kondisi pasar yang tipis karena libur panjang dalam negeri juga turut memperparah volatilitas,” ungkap Fitra.
Dengan kata lain, pasar bergerak liar bukan karena faktor ekonomi semata, melainkan karena transaksi yang kecil bisa berdampak besar ketika volume perdagangan rendah.
Ketika ditanya apakah Bank Indonesia memiliki target tertentu untuk nilai tukar rupiah, Fitra memilih untuk tidak memberikan pernyataan. Ini bukan hal yang mengejutkan—bank sentral umumnya enggan menyebutkan angka spesifik agar tidak mengarahkan spekulasi pasar ke satu titik tertentu.
Namun jelas, dari langkah-langkah yang sudah diambil, BI sedang mengirim pesan kuat: rupiah tidak akan dibiarkan jatuh terlalu dalam tanpa perlawanan.
Intervensi ini juga terjadi dalam konteks yang lebih besar. Setelah libur panjang, pasar Indonesia dibuka dengan sentimen negatif, termasuk kekhawatiran soal kebijakan tarif di pasar global. Hal ini menambah tekanan terhadap aset-aset di negara berkembang, termasuk rupiah.
Pasar saham Indonesia juga sempat terguncang, menyusul gejolak yang terjadi di pasar internasional selama libur berlangsung. Akibatnya, investor cenderung mengambil posisi defensif, menarik dana dari pasar berkembang dan menambah tekanan terhadap kurs rupiah.
Langkah cepat dan tegas dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa stabilitas rupiah adalah prioritas utama. Meskipun tantangan global masih besar dan situasi bisa berubah cepat, intervensi ini diharapkan mampu meredam kepanikan jangka pendek dan menjaga kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia.
Bagi masyarakat, ini adalah sinyal positif bahwa otoritas moneter siap hadir dan bertindak ketika diperlukan. Di tengah ketidakpastian global, kehadiran BI sebagai penjaga stabilitas menjadi lebih penting dari sebelumnya.