Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga untuk menguatkan nilai rupiah. BI meningkatkan suku bunga acuan tujuh hari (BI7DRRR) sebesar 25 basis poin menjadi 6%, yang mana mencapai level tertinggi dalam kurun waktu empat tahun.
Keputusan ini mengejutkan pasar karena hanya 1 dari 31 ekonom yang disurvei Bloomberg yang memprediksi adanya kenaikan suku bunga. Keputusan tersebut merupakan kenaikan suku bunga pertama sejak Januari.
BI mengambil tindakan ini untuk mendukung mata uang rupiah karena meningkatnya risiko dari konflik di Israel dan Palestina. Dalam sebulan ini nilai rupiah turun 2,5% yang menambah kekhawatiran mengenai inflasi. Sementara inflasi masih dalam kendali, ketidakpastian di pasar keuangan memerlukan respons kebijakan yang lebih kuat.
Kenaikan suku bunga ini juga sebagai langkah untuk memitigasi dampaknya terhadap barang impor sehingga inflasi terkendali di kisaran sararan 3 plus minus 1% pada 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024. Bank Sentral juga memprakirakan tekanan arus modal keluar akan terus berlanjut di kuartal keempat.
Saat ini cadangan devisa berada pada level terendah dalam sepuluh bulan sejak September, bahkan sebelum pelemahan rupiah kembali bulan ini. Minat pada Sekuritas Rupiah Bank Indonesia dan Devisa Hasil Ekspor juga menurun, mengurangi arus masuk dolar ke ekonomi terbesar di Asia Tenggara, yakni Indonesia.
Perry Warjiyo selaku Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat berkat konsumsi domestik yang solid. Ekonomi Indonesia diprakirakan akan tumbuh antara 4,5% hingga 5,3% tahun ini. Sementara itu, perkiraan untuk neraca transaksi berjalan pada rentang +0,4% hingga -0,4% dari PDB pada tahun 2023.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengidentifikasi 5 dinamika perubahan global yang sangat cepat, yaitu sebagai berikut.
Perlambatan Ekonomi Global
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 sekitar 2,9% dan akan melambat menjadi 2,8% pada tahun 2024. Divergensi antara negara-negara juga semakin lebar, dengan Amerika Serikat (AS) yang masih kuat dan Tiongkok yang mengalami perlambatan. Stabilisasi Tiongkok diperkirakan akan terjadi sekitar tahun 2026.
Ketegangan Geopolitik di Timur Tengah
Peningkatan ketegangan geopolitik, terutama di Timur Tengah, menyebabkan kenaikan harga minyak dan pangan.
Suku Bunga Tinggi di Negara Maju
Suku bunga di negara maju, termasuk AS, diperkirakan akan tetap tinggi dalam jangka waktu yang lama (higher for longer). Bahkan, ada probabilitas sebesar 40% bahwa Fed Funds Rate akan naik pada Desember.
Perbedaan Suku Bunga Jangka Pendek dan Jangka Panjang yang Makin Pendek
Perbedaan suku bunga antara instrumen jangka pendek dan jangka panjang semakin mengecil.
Aliran Modal Keluar dari Negara Berkembang
Terjadi aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak dana pindah ke negara maju, yang memperkuat dolar AS.
Bank Indonesia mengambil langkah-langkah preventif, termasuk kenaikan suku bunga acuan, untuk menangani ekspektasi inflasi yang meningkat, terutama akibat risiko tinggi harga energi dan pangan global serta dampak dari kenaikan inflasi yang diimpor. Keputusan tersebut termasuk kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin.
BI juga merilis instrumen operasi moneter dengan mengeluarkan surat utang dalam valas, baik konvensional maupun syariah, yakni Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Perry Warjiyo menyatakan bahwa BI akan memperkuat berbagai kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Salah satu langkahnya adalah dengan mengeluarkan sekuritas valas dan sukuk valas sebagai instrumen moneter pro-pasar untuk mendukung upaya menarik dana portofolio asing.
Selain itu, BI akan terus berupaya untuk menstabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi di pasar valas dan optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen moneter yang pro-pasar.