Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025: Defisit Mengintai

writter Lanjar Nafi

Laporan terbaru soal keuangan negara menunjukkan kabar kurang menggembirakan. Hingga akhir Februari 2025, penerimaan pajak jeblok, sementara pemerintah memutuskan mengalihkan dividen BUMN ke Badan Pengelola Investasi Danantara.

Akibatnya? Defisit APBN berpotensi membengkak hingga Rp160 triliun.

Lantas, apa dampaknya bagi ekonomi kita?

Dividen BUMN Ditarik ke Danantara, APBN Kekurangan Dana

Dalam rapat analis terkait APBN Februari, Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa dividen BUMN yang seharusnya masuk ke APBN sebesar Rp90 triliun tahun ini tidak akan ditarik. Dana ini akan disalurkan ke Danantara untuk investasi di sektor smelter nikel, energi, dan data center.

Menurut analis dari Mega Capital Sekuritas, keputusan ini membuat APBN 2025 mengalami tekanan besar. Jika tidak ada langkah cepat untuk menutup kekurangan pendapatan, defisit fiskal bisa naik menjadi -3,16% hingga -3,19% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Fitch Ratings: Waspadai Risiko Fiskal

Bukan hanya analis dalam negeri yang mengkhawatirkan kondisi ini; lembaga pemeringkat global, Fitch Ratings, juga memberikan peringatan bahwa kehadiran Danantara bisa meningkatkan risiko fiskal Indonesia. Menurut laporan mereka, pendanaan Danantara yang bergantung pada dividen BUMN dan efisiensi anggaran bisa memperbesar liabilitas pemerintah.

Fitch juga mencatat utang bruto perusahaan non-keuangan publik di Indonesia sudah mencapai 5% dari PDB pada 2024. Dengan skema pendanaan yang belum transparan, risiko fiskal bisa makin meningkat.

Pajak "Rungkad", Apa Penyebabnya?

Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 hanya mencapai Rp187,8 triliun, atau sekitar 8,6% dari target tahunan Rp2.189,3 triliun. Yang tidak terduga, realisasi ini anjlok 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Menurut Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, penurunan ini disebabkan oleh turunnya harga komoditas global. Batu bara anjlok 11,8%, minyak mentah jenis Brent turun 5,2%, dan harga nikel melemah 5,9%.

Selain itu, ada faktor administratif yang membuat penerimaan pajak makin turun; salah satunya adalah implementasi sistem Coretax yang mulai berlaku sejak Januari 2025. Akibatnya, terjadi keterlambatan dalam pencatatan dan pemungutan pajak.

Faktor lain? Aktivitas ekonomi yang lesu.

Beberapa pajak utama ikut turun antara lain:

  • Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 Badan turun 1,25% secara tahunan

  • Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) anjlok 9,69%

  • Penerimaan PPh 21 bahkan turun drastis hingga 39,5%

Pasar Mulai Gelisah

Kondisi fiskal yang kurang meyakinkan ini langsung mendapat respons negatif dari pasar. Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun naik ke 6,94%, sementara yield SUN tenor 5 tahun juga naik menjadi 6,75%. Obligasi Indonesia berdenominasi dolar AS, INDON, juga mengalami lonjakan yield di berbagai tenor.

Pasar saham pun ikut terseret turun, dengan IHSG ditutup melemah 0,26% ke level 6.647. Premi risiko investasi Indonesia, yang tecermin dalam Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun, naik hingga 2,44% ke level 81,34—angka tertinggi dalam tiga bulan terakhir.

Apa Langkah Pemerintah?

Dengan kondisi ini, pertanyaan utamanya adalah, “Bagaimana pemerintah akan menambal kekurangan pendapatan tanpa memperburuk defisit fiskal?”

Jika tidak ada langkah konkret seperti pemangkasan belanja atau mencari sumber pendapatan baru, potensi pelebaran defisit bisa makin nyata.

Pemerintah perlu segera memberikan kejelasan soal strategi fiskal ke depan. Transparansi dalam pengelolaan Danantara dan optimalisasi penerimaan pajak menjadi kunci agar pasar tetap percaya pada stabilitas ekonomi Indonesia pada tahun 2025.

 


SMBC Indonesia tidak bertanggung jawab atas pernyataan apa pun sehubungan dengan keakuratan atau kelengkapan informasi yang terkandung pada artikel ini atau atas kehilangan atau kerusakan yang timbul dari penggunaan isi artikel ini.
Informasi yang terkandung dalam artikel ini adalah informasi publik, tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Pengguna tidak boleh menyalin atau menggunakan isi artikel ini untuk tujuan apa pun atau mengungkapkan isinya kepada orang lain tanpa persetujuan sebelumnya dari SMBC Indonesia. Isi artikel ini dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Pengguna disarankan untuk menilai kemampuan sendiri dalam menanggung risiko keuangan dan lainnya terkait investasi atau produk apa pun, dan untuk membuat penilaian independen atau mencari nasihat independen sehubungan dengan masalah apa pun yang tercantum pada artikel ini.