Teman Jenius ada gak yang pernah merasa kepingin kabur dari rutinitas kerja di Indonesia? Tapiii… tetap sadar nih kalau gak bisa langsung resign dan jobless untuk waktu yang lama.
Kalau kamu otomatis mengangguk-angguk saat baca pertanyaanku itu, aku mau kasih rekomendasi mengambil gap year atau career break lalu pergi ke Australia untuk working holiday! 😆
Dari dulu tuh aku sudah sering dengar orang bahas gap year, biasanya sih soal anak SMA yang baru lulus tapi gak langsung lanjut kuliah. Kemudian saat masuk dunia kerja, aku mulai dengar istilah career break dan sabbatical leave. Ada yang ambil “cuti” lama ini karena alasan kesehatan, ada pula yang perlu cuti untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Baru belakangan aku menyadari, career break juga bisa diambil saat sedang bosan sama rutinitas yang terasa flat dan gak inspiring lagi. Atau saat bingung mau mengambil langkah selanjutnya dalam karier. Atau bahkan saat sedang memikirkan kemungkinan career change.
Intinya sih saat-saat muncul pemikiran, “Apa benar ini hidup yang aku mau?”
Sejak kecil aku suka traveling ke luar negeri. Pengalamanku jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga rasanya berkesan banget, sampai-sampai aku menyimpan impian untuk hidup di luar negeri.
Sayangnya selama 30 tahun hidup aku belum berjodoh dengan impian tersebut. Kedua orang tuaku gak ada yang berkarier di luar Indonesia. Ketika kuliah aku pun belum pernah berkesempatan melakukan program exchange, dan saat bekerja pun aku berjodohnya dengan perusahaan di dalam negeri.
Di tengah berbagai keterbatasan pandemi sekitar tahun 2021-2022, aku kembali teringat akan banyak impian yang pernah aku miliki: mau traveling lebih sering, juga mau tinggal di luar negeri lebih lama. Pada saat bersamaan, aku merasa bingung akan karier yang mau dibawa ke mana.
Apa aku mau melanjutkan karier sebagai content writer, atau mau mencoba pekerjaan baru?
Apa aku mau terus bekerja di perusahaan yang sama, atau mau cari tantangan baru di perusahaan lain?
Apa aku masih mau hidup di Jakarta, atau mau pindah kota—bahkan negara?
Lantas, entah bagaimana semesta—melalui postingan Facebook—mengingatkanku adanya opsi working holiday.
Dikutip dari situs Australia.com, “A working holiday, sometimes called a gap year, is an extended trip abroad that allows you to stay for longer than a typical tourist visa and gives you the right to earn money through short-term employment.”
Intinya, program working holiday adalah kesempatan buat anak muda berlibur dalam waktu yang cukup lama (1-3 tahun), dan untuk membiayai liburan panjang tersebut pemerintah mengizinkan peserta program untuk bekerja dengan beberapa syarat dan ketentuan.
Program working holiday ini cukup umum secara global. Cuma memang… untuk kita yang merupakan warga negara Indonesia (WNI), tujuan working holiday yang paling populer dan paling accessible adalah Australia.
Terlepas dari itu semua, beberapa tahun sebelumnya aku pernah berlibur ke Australia pas lagi senang-senangnya mengeksplorasi kopi. Secara otomatis, jatuh cintalah aku dengan Australia (dan budaya kopinya).
Mengingat ini kesempatan terakhirku working holiday di negara yang aku sukai (dan kurindukan) karena adanya batasan usia, langsung aku kebut semua proses.
Langkah pertama yang diperlukan untuk bisa pergi working holiday di Australia adalah memiliki visa yang tepat—Working Holiday Maker visa (subclass 462) untuk WNI. Oh ya, untuk mempermudah, mulai dari sini kita akan sebut program dan/atau visa ini dengan WHV.
Sama seperti visa lain pada umumnya, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan dan sejumlah dokumen yang harus disiapkan. Aku akan membagikan daftar syarat dan dokumen yang aku tau dan aku siapkan sebelumnya di bawah ini.
Catatan penting: semua hal bisa berubah sewaktu-waktu sesuai keputusan pemerintah Australia atau Indonesia. Jadi, pastikan kamu selalu cek informasi terkininya sebelum mendaftar apa pun.
Berusia 18-30 tahun
Memiliki paspor dari negara yang bekerja sama
Datang sendiri/gak ditemani anak tanggungan (dependent children)
Sudah lulus kuliah, atau bila masih mahasiswa sudah melewati 2 tahun masa kuliah
Memiliki kemampuan bahasa Inggris minimal di tingkat fungsional
Memiliki dana minimal AUD5.000 untuk modal awal liburan
* Disarikan dari situs Home Affairs Australia dan sumber lainnya
Program WHV adalah kerja sama khusus antara 2 negara. Berbeda dengan proses apply visa liburan biasa yang bisa dibilang pemohon visa “langsung” mengajukan ke kedutaan besar negara tujuan, untuk apply WHV diperlukan sebuah “surat sakti” bernama SDUWHV (Surat Dukungan untuk Working Holiday Visa Australia).
SDUWHV bisa didapatkan dengan mendaftar ke Ditjen Imigrasi pada waktu yang ditentukan. Untuk mengetahui jadwalnya, aku sarankan kamu untuk follow Instagram @ditjen_imigrasi. Perhatikan postingan seperti ini yang akan muncul sewaktu-waktu.
Untuk mendapatkan SDUWHV, ada beberapa dokumen yang harus disiapkan. Aku akan share list-nya disertai jenis dan size file-nya ya karena ini penting biar bisa sukses terunggah dengan baik.
Pasfoto berwarna (JPEG, 60kb-1mb*)
KTP (PDF, 60kb-300kb)
SKCK (PDF, 60-300kb)
Paspor (PDF, 60-300kb)
Ijazah (PDF, 60kb-1mb*)
IELTS (PDF, 60-300kb)
Surat referensi bank (PDF, 60-1mb*)
Surat pernyataan keabsahan dokumen—unduh dari Ditjen Imigrasi (PDF, 60-300kb)
Sementara itu, untuk proses apply visanya sendiri bisa dilakukan secara mandiri di situs imigrasi Australia. Sebelum mulai mengisi formulir, siapkan dulu dokumen-dokumen di bawah ini ya.
Paspor aktif (dan lama, bila punya)
Pasfoto berwarna berukuran 35×45 mm berlatar belakang warga putih (kalau ke studio foto bisa langsung bilang, “Mau foto untuk visa Australia ya.”)
SDUWHV
Surat referensi bank (bertanda tangan pejabat bank dan bercap bank; bisa minta dibuatkan Jenius melalui call center Jenius Help 1500 365 atau datang ke service point Jenius)
Ijazah (perlu diterjemahkan ke bahasa Inggris bila aslinya belum bilingual)
Hasil IELTS (dengan hasil minimal rata-rata 4,5)
Akta lahir dan/atau kartu keluarga (perlu diterjemahkan ke bahasa Inggris bila aslinya belum bilingual)
Durasi proses apply WHV setiap orang berbeda-beda. Ada yang sebentar, ada yang agak lama. Apalagi ada 2 hal di luar kuasa sebagai pemohon, yaitu (1) kapan pendaftaran SDUWHV dibuka Ditjen Imigrasi Indonesia dan (2) kapan visa disetujui (granted) oleh imigrasi Australia.
Sekadar tips: siapkan apa pun yang bisa disiapkan duluan.
Juni 2022:
✅ Translate ijazah dan kartu keluarga ke penerjemah tersumpah
✅ Request surat referensi bank ke Jenius Help
✅ Bikin pasfoto ke studio
✅ Bikin SKCK di POLRI
✅ Belajar IELTS mandiri
Juli 2022:
✅ Tes IELTS
✅ Pengumuman dan pendaftaran SDUWHV
Agustus 2022:
✅ SDUWHV terbit
✅ Isi formulir dan apply visa di situs imigrasi Australia
✅ Medical checkup di rumah sakit yang ditunjuk
Oktober 2022:
✅ Visa disetujui (granted) oleh imigrasi Australia
Setelah visanya granted, kita bisa langsung berangkat atau paling lambat setahun setelah visanya granted. Waktu itu aku sendiri mempertimbangkan project di kantor, momen izin ke orang tua, momen Lebaran, hingga promo tiket pesawat. Makanya, aku baru berangkat pada Juni 2023.
Hampir semua tahapan proses yang sudah kusebutkan di atas memerlukan biaya. Aku share biaya yang aku keluarkan buat gambaran umum ya.
Translate ijazah dan kartu keluarga: Rp400.000 (yang perlu di-translate ada 4 lembar)
Request surat referensi bank ke Jenius Help: GRATIS 😆
Pasfoto: Rp60.000
SKCK: Rp30.000
IELTS: Rp3.000.000
Biaya visa: Rp5.518.360 (catatan: biaya visa terbaru saat artikel ini ditulis adalah AUD635)
Medical checkup: Rp1.020.000 (di Jakarta/Tangerang)
Total biaya yang aku keluarkan hingga mendapatkan visa WHV adalah Rp10.028.360. Pastikan kamu sudah menyiapkan budget untuk apply visa ini di luar tabungan AUD5.000 yang diperlukan untuk syarat apply visa ya.
Ada 2 pertanyaan menarik yang pernah aku terima sebelum berangkat.
Pertanyaan #1: “Nanti kerja di mana? Cari sendiri atau dicarikan pemerintahnya?”
Walaupun judulnya working AND holiday di Australia, poin working alias bekerja menjadi concern utama. Soalnya, ya gimana caranya bisa holiday di sini kalau belum kerja dan terima gaji? Mau makan dan hidup gimana?
Terkait pertanyaan kerja di mana—well, awalnya aku juga gak tau. Setelah kenalan sama teman baru WHV di sini sih aku baru tau ada yang beruntung sudah secure pekerjaan sebelum berangkat. Namun, tentu gak sedikit yang berjuang setengah mati setelah menginjakkan kaki di Australia.
Yang pasti, keduanya itu harus dicari sendiri. Pemerintah hanya “mengizinkan” masuk dengan memberikan visa. Sementara untuk pekerjaan, akomodasi, dan segala hal lainnya harus dicari dan diusahakan sendiri oleh setiap individu. Makanya, salah satu kunci mau WHV menurutku adalah harus mandiri dan gak boleh manja.
Pekerjaan kasual di sini ada banyak, tapi yang siap kerja juga gak kalah banyak. Karena kita yang butuh, kita juga yang harus mandiri dan aktif mencari informasi dan mencoba segala peluang.
Aku sendiri baru pernah kerja di 2 tempat selama WHV 8 bulan ini. Dua minggu di Melbourne City, aku belajar dan bekerja di hotel sebagai room attendant. Lalu 7 bulan belakangan ini (and still counting!), aku kerja di kebun (dalam rumah kaca) sebagai fruit picker. Keduanya aku dapatkan hasil mengubek grup Facebook komunitas orang Indonesia di Australia dan grup Telegram yang khusus share apa pun soal WHV.
Pertanyaan #2: “Gimana ceritanya dapat kerja di kebun? Kamu datangi kebunnya satu per satu?”
Pekerjaan di kebun sayur-buah dalam rumah kaca (glass house) ini aku dapatkan melalui referal, yang mana aku dapatkan network-nya dari grup Telegram. Tetapi ini bukannya gak disengaja, bahkan sebenarnya sudah aku masukkan dalam doa dan wishlist.
Sebelum berangkat, aku mempelajari bahwa WHV yang basic-nya berdurasi 1 tahun bisa diperpanjang ke 2nd bahkan 3rd year bila memenuhi syarat bekerja di daerah regional (outback) dan bekerja di bidang tertentu yang sudah di-list pemerintah setempat. Dari daftar pekerjaan dan lokasi yang panjang itu, aku sempat cari info mana yang direkomendasikan banyak orang. Rekomendasi ini bisa dalam bentuk lokasi, pekerjaannya, lingkungan kerja, gaji, dan sebagainya.
Karena aku datang ke Australia saat musim dingin, banyak yang menyebutkan kalau bekerja di rumah kaca bisa dijadikan alternatif karena pekerjaannya tersedia sepanjang tahun dan kondisinya lebih kondusif karena berada di dalam ruangan.
Long story short, aku dapat pekerjaan tersebut dan semua prosesnya itu berlangsung di situs resmi mereka. Jadi walaupun lewat referral program, aku perlu melamar sendiri secara online. Kemudian semua proses rekrutmen hingga onboarding dilakukan secara profesional dan canggih lewat sistem khusus di situs resminya.
Dari pengalamanku yang minim ini, aku sih menyarankan untuk rajin browsing info soal industri dan tempat kerja yang kamu impikan atau butuhkan. Dari situ kamu bisa melamar dulu bahkan sebelum datang. Siapa tau keberuntungan ada di pihakmu dan kamu bisa langsung punya pekerjaan begitu tiba!
Kalau pekerjaan sudah di tangan, apalagi asam manis kehidupan yang bisa saja terjadi selama WHV?
Namanya juga hidup, gak mungkin cuma manis doang, ya kan. Punya kerjaan itu satu hal penting, tapi berapa gajinya itu lebih penting lagi!
Bisa dibilang, asam manis kehidupan yang paling terasa selama aku WHV itu soal working hours dan gaji. Karena selama di sini kerjanya itu kasual, ya kita dibayar kalau kerja (panjang). Kalau kerjaannya lagi gak banyak, jam kerja pendek, ya siap-siap gigit jari pas terima gaji.
Aku sempat mengalami low season. Mulai kerja pukul 06:30, buah yang bisa dipetik cuma sedikit (karena belum banyak yang matang), pukul 11:00 buahnya habis, dipulangin deh—bahkan sebelum jam makan siang! Kalau sudah begini, jangankan menabung buat liburan, gajinya cukup buat bayar rent dan makan saja sudah syukur.
Baca juga: Traveling Hemat: 8 Tips Cari Hotel Murah
Kontras dari kondisi itu, puji Tuhan high season pada musim panas ini sedang berlangsung. Pada hari-hari baik, aku bisa mulai kerja pukul 06:00 dan baru selesai bahkan pukul 19:30! Inilah waktu-waktu panen working hours hingga 50-60 jam per minggu.
Waktu high season ini adalah waktu terbaik untuk menabung (karena well oh well gak ada yang tau kapan tiba-tiba high season beres) dan pergi berlibur di sela-sela waktu kerja. Aku termasuk rajin mengingatkan diri sendiri: it’s working and holiday, not working and working and working. It’s nice to save more, but it is also important to live the life.
Kalau live the life versiku saat ini di sini:
✅ makan dan ngopi enak,
✅ tidur cukup,
✅ bertemu dan main dengan teman baru,
✅ baca buku bagus,
✅ nonton konser yang ada di wishlist, dan
✅ pergi ke tempat yang diimpikan!
Mumpung tinggal di Australia. Mumpung ada banyak teman sesama WHV (termasuk dari negara lain). Mumpung banyak konser menarik yang harganya jauh lebih murah (I went to Sam Smith’s concert with only $146,20!). Mumpung kerjaannya gak yang sampai dibawa tidur dan stres berhari-hari.
Setelah hampir setahun bekerja dan tinggal di Australia, Jenius masih jadi teman terbaikku untuk mengatur keuangan, lho.
Pada awal kedatangan, aku sangat mengandalkan Kartu Debit Jenius Visa. Soalnya, jujur saja nih, aku sudah lupa kapan terakhir kali pergi ke money changer sebelum melakukan perjalanan. Kebiasaan ini sudah aku lakukan sejak… (1) ada sahabatku yang ketinggalan pesawat setelah sibuk mondar-mandir ke beberapa money changer untuk tukar uang dan (2) aku menyadari biaya tarik tunai di negara lain gak semenakutkan itu sampai bikin bangkrut.
Jadi, saat mau pindah ke Australia pun aku gak kepikiran untuk menukar semua uang modalku di Indonesia. Waktu itu aku pikir, kalau perlu ya tinggal tarik tunai. Itu pun gak aku lakukan sampai perlu uang tunai untuk membayar bond money akomodasi di sini.
Moving forward ke saat ini, kartu yang semakin aku andalkan dalam keseharian adalah Kartu Kredit Jenius Visa.
Habisnya… semua transaksi bisa diselesaikan menggunakan kartu debit maupun kredit. Jajan kopi, beli makanan, belanja kebutuhan dapur, makan bareng teman di restoran, hingga top up myki (kartu transportasi di Melbourne dan regional Victoria)—semua bisa dibayar pakai kartu.
Apalagi kalau kata teman-teman, aku ini si gila poin! 😝 Tentu aku gak akan melewatkan kesempatan sekecil apa pun untuk menambah poin dari transaksi Kartu Kredit Jenius yang aku lakukan. Terlebih, ini transaksi di luar negeri. Dengan mudahnya aku bisa dapat Double Yay untuk semua transaksi di Australia.
Setiap akhir bulan, aku tinggal kirim uang gaji hasil kerja di Australia ke akun Jenius, untuk kemudian aku alokasikan ke tabungan, juga untuk membayar tagihan kartu kredit. Jenius, isn’t it? 😉
Satu hal penting untuk diketahui, banyak restoran dan kafe di Australia yang membebankan card payments surcharge pada pelanggan sekitar 0,5-1,5% dari nominal transaksi. Kalau keberatan, kamu bisa selalu memilih opsi pembayaran tunai. Karena terbiasa cashless dan memprioritaskan hidup yang simpel, aku sih tetap membayar pakai Kartu Kredit Jenius yang selalu kubawa.
Tahun lalu, waktu mau resign dari kantor terakhir, leader sekaligus mentorku bertanya, “Habis itu kamu mau ngapain?”
Aku ingat saat sesi one on one itu aku bisa menjawab dengan mantap, “Aku punya beberapa plan. Kalau belum puas tinggal di luar negeri, aku kepikiran pindah ke negara lain buat belajar bahasa. Tetapi kalau aku kangen ngantor… ya paling balik kerja lagi seperti biasa.”
After all, I planned this as a career break journey. Perjalanan untuk keluar sebentar dari hidup yang sama yang sudah aku jalani bertahun-tahun seperti robot. Sambil mencoba berpikir dengan pola yang berbeda. Melihat dengan kacamata lain yang belum pernah kupakai.
Dan ya, jawabanku ke mentorku itu masih jadi opsi teratas. Walaupun selama di sini ada banyak cerita inspiratif teman-teman seperjalanan yang bisa dijadikan referensi baru. But I will still consider my first plan.
Anyway, ada satu bacaan soal gap year yang aku temukan. Beberapa poin menariknya mungkin bisa teman Jenius jadikan pertimbangan sebelum memutuskan mau gap year/WHV atau gak.
People take time off from school or other endeavours for different reasons—and at different points in their lives. This transitional period is often called a “gap year.” A gap year allows people to step off the usual educational or career path and reassess their future. And according to people who’ve taken a gap year, the time away can be well worth it. (Elka Torpey, 2009)
Saat artikel ini ditulis, aku sedang duduk di kamar di sebuah kota kecil bernama Warragul di Victoria, setelah bekerja memetik bluberi selama hampir 10 jam. Dan walaupun baru menjalani perjalanan WHV-ku selama 8 bulan dengan pengalaman yang belum sebanyak teman-teman lain, aku bisa dengan mantap bilang bahwa aku sangat senang bisa berada di sini, bertemu banyak teman baru dengan pola pikir yang berbeda, kenalan dengan pola hidup orang Australia yang pasti berbeda dengan kehidupan di Indonesia, serta mendapatkan pengalaman kerja dan hidup baru yang belum pernah dan mungkin gak akan aku dapatkan di Indonesia.
Dan walaupun kangen berat dengan kehidupan-keluarga-temanku di Indonesia serta segala kenyamanan dan kemudahannya, so far I feel this gap year/career break worth it.
Artikel ini ditulis oleh Claudia Von Nasution (Odi), teman Jenius yang merupakan Content Writer & Book Editor. Cek artikel dari para guest writer lain pada laman Blog Jenius.
Ilustrasi pada artikel ini merupakan karya Zuchal Rosyidin, teman Jenius yang merupakan Ilustrator & Founder Kamaji Studio di Malang.