Saat dapat uang bonus atau tunjangan hari raya dari kantor, menang uang tunai dari kompetisi, bahkan menang lotre dengan nominal besar; pasti rasanya pengin banget langsung kamu pakai untuk beli barang mewah dan menghabiskannya untuk bersenang-senang. Iya atau gak nih, teman Jenius? 🤔
Secara sadar, kamu kasih penilaian yang berbeda terhadap uang dalam kondisi tersebut. Hal ini seakan-akan uang yang kamu dapatkan itu adalah “uang kaget” di luar dari pemasukan yang rutin kamu dapat (seperti gaji bulanan atau hasil bisnis). Padahal, ya sekadar pendapatan tambahan.
Kemudian, kamu berkeinginan langsung menghabiskannya dalam sekejap untuk membeli beli barang yang mungkin sebenarnya gak penting dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan kamu sehari-hari.
Tau gak sih, sebenarnya sikap ini merupakan bentuk dari perilaku mental accounting?
Istilah mental accounting atau akuntansi mental diperkenalkan oleh ekonom Amerika bernama Richard Taller. Menurutnya, mental accounting adalah kondisi atau perilaku psikologis ketika seseorang melakukan tindakan untuk mengategorikan dan mengevaluasi kekayaan yang dia miliki.
Bisa dibilang mental accounting adalah proses budgeting yang dilakukan secara langsung dan sadar dalam memperlakukan nilai uang secara berbeda.
Kita bisa menemui mental accounting dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kamu adalah seorang karyawan swasta. Setelah mendapat gaji, kamu langsung membagi alokasi keuangan sesuai pos pengeluaran:
30% untuk biaya hidup (makan, minum, rumah)
10% untuk transportasi
20% untuk dana darurat
40% untuk berinvestasi
Sebenarnya kamu ingin berinvestasi reksa dana, tapi kamu merasa takut memulainya karena kamu merasa alokasi yang kamu tentukan di atas sudah saklek dengan alasan “keamanan” keuangan. Dalam kasus ini, mental accounting menyebabkan kamu kehilangan kesempatan berinvestasi.
Contoh kasus lainnya bisa seperti yang sudah disebut di awal, yaitu ketika kamu mendapat uang tunai dari ikut kompetisi. Karena hal tersebut gak termasuk dalam uang pendapatan kamu, kamu merasa harus menghabiskannya untuk membeli barang impian yang sebenarnya belum tentu kamu perlukan.
Seakan uang dari kompetisi tersebut punya nilai berbeda dibanding uang penghasilan kamu. Perspektif mental accounting ini memang berasal dari ketidakpercayaan bahwa nilai uang sama di mana pun kamu simpan.
Di satu sisi, dengan mental accounting kamu memang terbantu dalam mengontrol pengeluaran kamu, tapi kalau terus-terusan bergantung pada cara ini kemungkinan besar kamu bakal gagal mengoptimalkan uang yang kamu miliki.
Singkat kata, kamu cenderung kesulitan mengevaluasi kondisi keuangan kamu secara luas saat terjebak dalam perilaku mental accounting.
Biar kamu gak terjebak dalam perilaku mental accounting, Jenius kasih tau beberapa tipsnya, ya!
Mulai biasakan untuk membuat rencana keuangan atau menuliskan anggaran kamu (budgeting). Kamu bisa menulis anggaran yang biasa kamu keluarkan selama sebulan. Setelah itu, tentukan mana yang diperlukan. Hal ini bisa bikin kamu menetapkan batasan pengeluaran untuk setiap kategori, jadi kamu pun terhindar dari perilaku mental accounting.
Kamu harus melihat uang dengan nilai sama. Dengan ini, kamu bisa mempertimbangkan seluruh sumber penghasilan dan pengeluaran kamu secara keseluruhan.
Tetapkan fokus tujuan keuangan jangka panjang kamu. Misalnya, fokus menabung untuk persiapan pensiun dini. Kamu bisa mengalokasikan uang kamu ke dalam kantong tabungan yang ditujukan untuk tujuan tersebut. Kamu juga bisa menghindari pemindahan uang ke akun atau kantong tertentu yang sifatnya sekadar untuk konsumsi.
Saat mendapat pendapatan tambahan “uang kaget”, kita punya kecenderungan untuk beli barang impian dengan impulsif. Namun, sebelum membeli kamu harus tanyakan kepada diri sendiri: apakah hal tersebut keputusan finansial yang bijak dan berkontribusi pada tujuan keuangan jangka panjang kamu? Kalau gak sih lebih baik gak beli ya, teman Jenius.
Baca juga: 4 Cara Ampuh Menekan Hobi Belanja
Nah, sekarang kamu sudah paham mengenai perilaku mental accounting, bahkan sudah tau 4 hal yang bisa kamu lakukan untuk terhindar dari perilaku tersebut dan bisa membuat keputusan keuangan yang baik. Selain itu, kamu juga bisa mengoptimalkan aplikasi fintech untuk menghindari perilaku mental accounting ini.
Jadi, selama ini kamu sebenarnya terjebak dalam perilaku mental accounting gak nih? Kalau gak, selamat dan terus pertahankan. Kalau iya, gak ada kata terlambat untuk mulai membiasakan diri ya, teman Jenius.