“Apa sih sebenarnya passion itu?” Pertanyaan itu gak hanya satu-dua kali terlintas dalam benak saya.
Saya memang masih belum punya jawaban pasti, tapi kalau boleh berbagi tentang apa yang saya temukan pada titik ini, menurut saya passion bukanlah sesuatu yang tergeletak di pinggir jalan dan bisa kita temukan begitu saja saat jalan-jalan. Ia juga bukan sekadar sesuatu yang kita mahir lakukan dan bikin senang saja.
Halo, perkenalkan nama saya Andry Setiawan. Saya seorang penerjemah, editor, sekaligus pengelola sebuah penerbitan kecil bernama Penerbit Mai. Saat menulis artikel ini, saya sedang berlibur di Tokyo, Jepang dan memandangi plang SMBC, salah satu bank terbesar di Jepang. Kebetulan, beberapa waktu lalu saya mendengar kabar perubahan nama Bank BTPN menjadi SMBC Indonesia yang menaungi Jenius, di mana salah satu fiturnya saya pakai untuk mengelola Penerbit Mai.
Beberapa belas tahun lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Jepang. Pada masa itu, Jepang terkenal dengan kemajuan teknologinya, membuat saya mengambil jurusan Ilmu Komputer. Kebetulan juga kelas komputer dan programming adalah sesuatu yang saya gemari waktu saya SMA dulu. Menurut saya, kelas tersebut adalah salah satu dari kelas termudah yang bisa saya ikuti dengan baik dan nilai saya juga terbilang bagus.
Namun, seperti yang saya sebutkan di atas, “mahir” gak memberi jaminan “suka”. Begitu masuk dunia kerja, komputer dan programming langsung menjadi sosok yang menghantui hingga akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkannya. Untungnya, saya bertemu lagi dengan buku.
Nah, dalam kesempatan ini izinkan saya bercerita sedikit tentang pengalaman yang membantu saya mendefinisikan apa itu passion bagi diri saya sendiri.
Mungkin, kalau teman Jenius bertanya kepada mereka yang berkecimpung dalam buku—atau saya yang aneh?—kebanyakan akan menjawab bahwa mereka “kecemplung”.
Tanpa rencana apa pun sebelumnya, begitu saja tergelincir, kemudian keasyikan sendiri berkubang dalam tumpukan buku dan melompat dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Biasanya, kami juga akan bilang sejak kecil kami suka membaca Lima Sekawan atau majalah Bobo, lalu meminjamnya dari penyewaan buku.Saya pun sama. Namun, bagi saya gak cuma itu. Sepertinya gak aneh kalau saya bilang masa kecil saya ditemani oleh karya-karya kreatif dari Jepang. Siapa para generasi milenial yang Minggu paginya gak ditemani Doraemon? Atau setelah besar sedikit, Long Vacation dan Tokyo Love Story.
Budaya Jepang sepertinya jadi sesuatu yang gak asing. Di penyewaan buku yang saya sebut di atas, saya juga banyak sekali menyewa manga (komik Jepang), yang membuat saya sempat dimarahi Bibi karena menyewa komik Sailor Moon ketika SD (sampai sekarang saya gak tahu kenapa saya dimarahi).
Namun, begitu pindah ke Jepang, saya jadi terasing dari buku. Bahasa dan budaya yang belum benar-benar saya pahami membuat saya menjauh dari buku selama beberapa saat.
Pertemuan kembali saya dengan buku adalah novel berjudul Ima, Ai ni Yukimasu (Be With You) karya Ichikawa Takuji. Bahasa yang dipakai sangat sederhana, bahkan orang yang baru belajar bahasa Jepang pun akan bisa mengikutinya dengan mudah. Inilah novel pertama berbahasa Jepang yang berhasil saya rampungkan meski butuh waktu lebih dari satu minggu. Novel ini membuat saya berani untuk mengeksplorasi novel-novel Jepang.
Saya yang pada dasarnya suka novel-novel misteri, thriller, dan horor pun mulai suka mampir ke toko buku untuk memeriksa tiap sudut rak. Saya bertemu dengan nama-nama penulis seperti Ayatsuji Yukito, Isaka Kotaro, juga Minato Kanae. Penulis-penulis ini masing-masing punya ciri khas tersendiri yang mereka tawarkan dalam naskahnya.
Ditambah lagi, Jepang sepertinya selalu punya hal-hal “aneh” yang mereka selipkan. Cerita-cerita ini belum pernah saya temui sebelumnya, dan membuat saya senang. Jadi, meski kadang gak saya beli, saya tetap mampir ke toko buku untuk memeriksa blurb di belakangnya. Itu saja sudah menyenangkan!
Ketika pulang ke Indonesia pasca resign, saya menyadari satu hal: fiksi populer Jepang belum banyak diterbitkan. Kala itu cuma ada Murakami, Akutagawa, dan penulis klasik lainnya seperti Natsume. Saya yang telanjur suka dengan gaya bercerita fiksi populer Jepang jadi merasa terasing lagi.
Syukurlah waktu itu Penerbit Haru mengajak saya mengeksplorasi buku-buku Jepang untuk diterbitkan. Buku pertama populer Jepang yang terbit adalah karya Koshigaya Osamu berjudul Her Sunny Side, sebuah fiksi romantis. Memilih dan membantu proses penerjemahan kemudian menjadi tugas saya di Penerbit Haru.
Kami menerbitkan buku-buku Asia kira-kira 10 buku per tahun. Memang gak banyak, tapi kami sangat senang mengerjakannya. Apalagi waktu melihat teman-teman pembaca menyukainya dan meninggalkan ulasan positif mengenai bukunya.
Gak butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari Indonesia sangat kekurangan penerjemah Jepang. Seiring dikenalnya fiksi populer Jepang, para penerbit kemudian berlomba-lomba menerbitkan buku-buku fiksi dari Jepang.
Di satu sisi saya senang karena makin banyak fiksi dari sana yang diterjemahkan. Namun, di lain pihak teman-teman penerjemah menjadi semakin sibuk saat ditanya bisa membantu menerjemahkan atau gak.
Mencari penerjemah baru yang bagus juga ternyata sangat sukar. Gak semua orang yang menguasai bahasa Jepang bisa menerjemahkan dengan baik. Awalnya saya masih mengira saya bisa menerjemahkan sendiri semua naskah yang ada, tapi memang manusia ada batasnya.
Saya mulai berpikir, kalau gak bisa ditemukan, penerjemah baru bisa dididik. Kemudian saya mulai berangan-angan, andai ada wadah untuk edukasi penerjemah pemula. Pasti bakal sangat menyenangkan kalau karya terjemahan hasil latihan itu bisa diterjemahkan, bukan?
Saya percaya latihan terbaik adalah melakukannya dengan serius. Jika naskah hasil terjemahan itu akan dicetak, bukankah itu akan membuat penerjemah baru merasa lebih bertanggung jawab dan berlatih dengan sungguh-sungguh?
Namun, pandemi mengubah semuanya.
Mungkin teman Jenius ingat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang diberlakukan 4 tahun lalu. Seperti orang lain, saya juga jadi banyak berdiam di rumah tanpa bisa berinteraksi dengan siapa pun.
Berbagai pertemuan pun jadi berbasis online dan saya harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru itu. Meski harus berpikir lebih panjang, melihat aktivitas media sosial, membaca, dan aktivitas lain di rumah semakin meningkat, saya seperti mendapat keberanian untuk memulai sebuah penerbit yang bisa menjadi wadah penerjemah pemula untuk membangun portofolio. Karena, Indonesia membutuhkan regenerasi penerjemah Jepang.
Menurut saya, dalam mengelola sebuah usaha, memisahkan dengan tegas mana uang usaha dan mana uang pribadi adalah sesuatu yang gak bisa diganggu gugat. Dengan demikian, saya gak seenaknya menggunakan uang usaha dan bisa mengatur budget bisnis dengan baik. Jadi, saya perlu rekening baru.
Namun, saat itu saya gak kebingungan karena memiliki Jenius. Di Jenius terdapat fitur Bisniskit yang memungkinkan saya membuat rekening bisnis lewat aplikasi. Dalam waktu beberapa menit, rekening usaha dan rekening pribadi saya sudah terpisah.
Buku pertama Penerbit Mai rilis pada 6 Maret 2020. Sampai saat ini, Mai sudah menerbitkan 11 buku dan membantu lebih dari 5 penerjemah untuk debut dan memulai portofolio mereka sebagai penerjemah sastra Jepang.
Kami bergerak dalam skala yang kecil-kecil saja untuk memperkenalkan karya tulis Jepang ke Indonesia dan membantu penerjemah Jepang-Indonesia muda membangun portofolio mereka.
Yang paling menyenangkan buat saya dalam mengelola Penerbit Mai bukan saat bisa menerbitkan buku, tapi ketika teman-teman penerjemah mulai menerjemahkan juga untuk penerbit-penerbit lain. Itu berarti, Mai berhasil. Usaha saya membuahkan sesuatu.
Sekali lagi, menurut saya passion bukan cuma perkara diri kita sendiri yang mahir melakukan ini atau senang melakukan itu. Di Jepang terdapat istilah yang saya rasa lebih tepat untuk apa yang saya percayai, yaitu ikigai.
Ikigai dan passion berbeda. Ikigai adalah perkara memiliki dampak baik. Ikigai terdiri dari dua komponen, yaitu iki yang berarti hidup; dan gai atau kai yang berarti hasil atau dampak.
Jadi, meski mungil, saya berharap semangat Penerbit Mai di pojok industri penerjemahan sastra Jepang bisa membantu memenuhi rak-rak toko buku dengan karya-karya dari Jepang, siapa pun penerbitnya. Saya harap, ini bisa menjadi sumbangsih sederhana saya dalam hidup.
Artikel ini ditulis oleh Andry Setiawan, teman Jenius yang merupakan penyunting dan penerjemah Jepang-Indonesia. Ia mendirikan Penerbit Mai sebagai wadah penerjemah pemula untuk membangun portofolio. Cek artikel dari para guest writer lain pada laman Blog Jenius.
Ilustrasi pada artikel ini merupakan karya Zuchal Rosyidin, teman Jenius yang merupakan Ilustrator & Founder Kamaji Studio di Malang.