Hidup Kaya Pakai Cara Ala Jepang

writter Ully Safitri

Di sebuah desa di Jepang, hiduplah seorang nenek bijaksana. Suatu hari, Hiro, sang cucu bertanya, “Obaachan (Nenek), jaket musim dingin Obaachan sudah banyak tambalan, kenapa masih dipakai?”

Sang nenek menjawab, “Jaket ini dibuat dari benang, ditenun menjadi kain, digambari pola, dipotong sesuai gambar, lalu dijahit oleh seorang pengrajin, diangkut oleh sopir, hingga dijual di toko dan Obaachan beli. Jaket ini sudah menemani Obaachan puluhan tahun dan masih hangat. Jadi, tidak ada alasan Obaachan untuk membuangnya.”

Sang nenek pun melanjutkan, ”Setiap barang yang kita miliki telah melalui banyak tangan, tenaga, dan waktu untuk membuatnya. Selama masih bisa diperbaiki dan digunakan, maka tidak perlu dibuang. Ini juga cara kita menghargai barang tersebut.”

Setelah mendengar apa kata sang nenek, Hiro belajar untuk dapat lebih menghargai barang-barang yang dimilikinya.

Baca juga: Detik Tanpa Jeda

Dari kisah sang nenek di atas, kita bisa mendapat sebuah gaya hidup yang dikenal dengan istilah mottainai (もったいない), yakni sebuah filosofi Jepang untuk mengurangi sampah.

Apakah ada teman Jenius yang lebih memilih barang-barang buatan Jepang dibandingkan negara lain?

Selain desain yang timeless, barang-barang buatan Jepang biasanya memiliki kualitas bagus dan lebih tahan lama. Nah, semua itu gak terlepas dari pola pikir mottainai.

Dengan mempraktikkan gaya hidup mottainai, kamu gak hanya bisa menghemat uang, tapi juga mengurangi sampah yang merusak lingkungan.

Apakah kamu sudah mempraktikannya dalam hidup?

Ketika beranjak remaja dan mulai diberikan uang saku bulanan, Hiro biasanya akan duduk di pekarangan rumah dengan segelas ocha (teh hijau). Ia melakukannya tiap sore sambil memandangi keindahan desa dan mulai menulis setiap pengeluaran di buku kecil.

Sambil menulis, Hiro juga menganalisis mana pengeluaran yang sudah tepat, bisa dikurangi, atau bahkan dihilangkan. Walau masih di bangku sekolah, dengan kebiasaannya ini Hiro dapat memiliki saldo tabungan yang jauh lebih besar daripada teman-teman sebayanya.

Kebiasaan Hiro ini dikenal dengan kakeibo (家計簿) yang jadi sebuah kebahagiaan dalam membuat anggaran bagi banyak ibu rumah tangga di Jepang.

Kakeibo adalah pembukuan untuk mengelola keuangan dengan mencatat pendapatan dan pengeluaran.

Kakeibo hadir untuk menghadirkan kesadaran emosional terhadap pengeluaran yang sudah dilakukan. Sehingga, kamu bisa memutuskan pengeluaran yang kurang perlu atau bisa ditunda dengan lebih mindful.

Setelah beranjak dewasa, Hiro memutuskan untuk merantau ke Tokyo. Namun, ia sempat mengalami kekhawatiran karena harus bisa mencukupi hidup dari gaji yang ia terima tiap bulan.

Gak ada lagi rumah tinggal yang gratis atau makanan lezat yang disediakan sang nenek. Bahkan, Hiro terkadang mendapat komentar dari teman sekantor karena menggunakan tas yang terlihat usang atau mantel penuh tambalan karena nilai mottainai yang ia praktikkan.

Hingga suatu sore Hiro menangis dan meratapi cara hidupnya. Ia pun mulai tergoda memiliki gaya hidup seperti orang Tokyo kebanyakan.

Tanpa sengaja sebuah daun gugur jatuh di kepala, kemudian ke kakinya. Hiro melihat daun tersebut berwarna kuning kemerahan dan tampak indah. Ia pun mengambil daun tersebut dan menyimpannya ke buku catatan keuangannya.

Keesokan sorenya, ketika Hiro hendak membuat catatan pengeluaran pada hari tersebut, daun yang gugur tersebut sudah setengah kering, dan warnanya tetap indah. Hiro pun menggunakannya sebagai pembatas buku.

Setelah merenung dan mengingat pertanyaan hidupnya kemarin, akhirnya ia memilih mempertahankan gaya hidup frugal dengan mengingat nasihat sang nenek di desa.

Hiro rajin bekerja dan memiliki performa baik. Secara perlahan teman-teman sekantornya mulai menghargai Hiro dan berhenti mencemoohnya. Perusahaan selalu menaikkan gaji Hiro setiap tahun dan memberi bonus besar karena kinerjanya yang sangat baik.

Berbekal dengan tabungannya sejak muda serta bonus-bonus tersebut, pada tahun kelima tinggal di Tokyo, Hiro bisa membayar uang muka untuk sebuat unit apartemen di pusat kota. Hal ini tentu saja mengejutkan banyak temannya. Mereka pun penasaran bagaimana Hiro bisa melakukan hal itu.

Seperti ketika Obaachan berbagi mottainai kepada seluruh penduduk desa, kini Hiro berbagi mengenai prinsip mottainai dan kakeibo kepada teman-teman kerjanya.

Terakhir, Hiro pun menambahkan pentingnya hidup dengan konsep gaman (我慢): kekuatan untuk sabar dan menunda kesenangan.

Alih-alih berfoya-foya karena bulan depan akan memperoleh gaji kembali, Hiro menjelaskan pentingnya memiliki simpanan untuk kondisi darurat, menghindari impulsive purchases, dan fokus pada tujuan jangka panjang seperti membeli properti atau menyimpannya untuk dana pensiun.

Singkatnya, dari Hiro kita belajar banyak, di antaranya seperti di bawah ini.

  1. Mindful spending — Bukan sekadar pelit, tapi membangun kesadaran diri dengan kebiasaan belanja dan menghindari membeli sesuatu yang gak penting.

  2. Melakukan budgeting — Perlunya memisahkan pendapatan sesuai pos kebutuhan masing-masing serta mencatat seluruh pengeluaran agar bisa menganalisis kebiasaan pengeluaran dan mengevaluasinya untuk keuangan yang lebih sehat.

  3. Menabung dan berinvestasi — Setelah menerima gaji, terbiasa menabung minimal 20% dari pendapatan. Ketika dana darurat terpenuhi, tetap meneruskan kebiasaan ini dan alihkan ke dana investasi.

  4. Menunda kesenangan — Fokus pada tujuan jangka panjang daripada hura-hura setiap minggu.

  5. Gaya hidup keberlanjutan — Mengurangi hal gak berguna, kreatif dengan sumber daya yang dimiliki, serta hidup berkecukupan tanpa neko-neko.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip bijak keuangan ala Jepang di atas, kamu pun bisa menjadi seperti Hiro, serta membangun masa depan yang lebih baik secara keuangan.


Artikel ini ditulis oleh Ully Safitri, teman Jenius yang berprofesi sebagai Certified Financial Planner di OneShildt Financial Independence. Cek artikel dari para guest writer lainnya pada laman Blog Jenius.

Artikel lainnya